Rektor USU : UU Membatasi Munculnya Calon Pemimpin Yang Berkualitas

Print

MEDAN – HUMAS USU : Peraturan perundang-undangaan yang ada di Indonesia telah memberikan batasan kepada putra-putri terbaik bangsa untuk muncul sebagai pemimpin. Sejumlah undang-undang tak berpihak sepenuhnya dalam memberikan kesempatan bagi para pemimpin muda yang memenuhi kriteria sebagai calon pemimpin, sehingga wajar bila nama yang muncul ke permukaan dan calon dipilih hanya orang yang itu ke itu saja. Meskipun calon tersebut adalah orang-orang bermasalah yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Demokrasi hanya mampu mempertahankan suara terbanyak, bukan kualitas.

Demikian disampaikan Rektor USU, Prof Dr Runtung Sitepu, SH, M Hum, dalam acara Talk Show “Mengawal Demokrasi, Melawan Korupsi” yang diselenggarakan di Auditorium USU, Selasa (15/5). Gelar wicara tersebut merupakan salah satu sesi yang ditampilkan dalam kegiatan Festival Konstitusi dan anti Korupsi 2018, kerjasama empat lembaga yakni Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI), Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI), Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Universitas Sumatera Utara (USU). Festival pada tahun ini yang memberikan kehormatan kepada USU menjadi tuan rumah, merupakan gelar kegiatan tahunan yang ketiga kalinya.

Wicara 2Dalam gelar wicara (talk show) ditampilkan empat orang narasumber yang berasal dari empat lembaga tersebut, yakni Ketua MK RI DR Anwar Usman, SH, MH, Ketua KPK Agus Raharjo, Ketua MPR RI yang diwakili oleh Ketua Badan Pengkajian MPR, Dr H Bambang Sadono, SH, MH, Serta Rektor USU, Prof Dr Runtung Sitepu, SH, M Hum.

Lebih lanjut Rektor USU juga menyoroti bahwa untuk menjadi pemimpin di Indonesia, yang paling terlihat menyolok adalah kemampuan finansial yang dimiliki. Maka persepsi yang mengakar di masyarakat umum tak bisa ditampik bahwa untuk menjadi pemimpin harus berasal dari kalangan kaya raya.

“Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan orang-orang baik yang berkualitas. Terlebih yang berasal dari kalangan kampus, karena kampus sesungguhnya adalah lumbung calon pemimpin. Namun mereka tidak memiliki keleluasaan untuk berkiprah karena harus masuk partai dulu. Sementara orang-orang tersebut banyak yang sudah memiliki profesi mapan dalam struktur kepegawaian sebagai seorang PNS. Tentu saja akan sulit memberikan pilihan bagi mereka untuk meninggalkan statusnya sebagai seorang pegawai negeri yang sudah lumayan mapan misalnya, untuk merintis karir di partai yang pastinya dimulai dari bawah,” imbuh Rektor USU.

Dengan kondisi demikian, lanjut Rektor USU, maka parpol otomatis kekurangan orang-orang baik dan berkualitas. Orang-orang muda yang baru lulus kuliah diperkirakannya 60 persen lebih berminat menjadi PNS ketimbang memulai karir sebagai anak bawang di partai politik.

“Coba lihat, calon pemimpin yang berasal dari TNI dan PNS diharuskan untuk mengundurkan diri dulu kalau ingin maju. Ya siapa yang mau mengorbankan hal-hal yang sudah pasti dengan yang tidak pasti. Iya kalau menang. Kalau tidak, kan susah jadinya. Harusnya jangan dibuat undang-undang yang menutup akses seperti itu,” kata Prof Runtung menyayangkan.

Wicara 1Rektor dalam kesempatan tersebut juga sangat menyambut baik terselenggaranya kegiatan tersebut sebagai salah satu upaya untuk menanamkan budaya anti korupsi di kalangan kampus.

Sementara itu, Ketua Badan Pengkajian MPR, Dr H Bambang Sadono, SH, MH, menyampaikan keprihatinannya dan mengakui bahwa kesenjangan yang ada di Indonesia memang sangat tinggi. Satu orang kaya di Indonesia menguasai hampir 40 persen dari perekonomian di Indonesian. Maka tidak mengherankan bila orang-orang kaya di Indonesia banyak yang mencalonkan diri menjadi pemimpin karena mereka sanggup membiayai ongkos yang dikeluarkan untuk proses pemilihan dirinya.

“Kami melihat bahwa semangat untuk memberantas korupsi sangat meninggi ketika masa awal reformasi. Di dalam perkembangannya, substansi perundang-undangan harus terus diperbaiki oleh evaluasi permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, pemberantasan korupsi seringkali dianggap tidak memberikan atmosfir yang lebih baik dalam hal penegakan hukum dan penindakan. Harus dibuat peraturan perundang-undangan yang tegas untuk menindak para koruptor, misalnya dengan tidak memperbolehkan mereka mencalonkan diri jadi pemimpin. Namun, yang jadi masalah masyarakat juga telah dimanjakan oleh kultur pemilihan yang ada selama ini. Masyarakat cenderung mengharapkan uang dari proses pemilihan, dan hanya orang-orang kayalah yang mampu memenuhinya, ” tandasnya. (Humas)